Wednesday, June 8, 2011

Tempat Sampah


Pagi ini aku kembali lagi membaca "Tempat Sampah Bagi Yang Terkasih". Meski sudah pernah baca sebelumnya, tapi tetep memberi makna juga buatku.



Amsal 25:15; Galatia 5:16, 22-23
Suatu kali seorang anak berkata kepada ibunya, "Bu, Bapak ini aneh ya, cuma begitu saja jadi marah." Ketika itu penyebabnya hanyalah secangkir teh yang tidak manis, tidak seperti yang biasa disediakan istrinya ketika dia pulang kerja. "Ya, mungkin Bapak sedang banyak masalah sehingga memendam emosi di hatinya," jawab ibunya bijak. "Ya, tetapi kok Ibu yang dimarahi, kan itu tidak adil. Ibu kan hanya kurang menambahkan gula di minuman Bapak," sanggah anaknya. "Benar sih, Nak. Tetapi, mungkin saja Bapak tidak sempat mengeluarkan emosinya tadi. Dan, kita tidak berharap kan supaya Bapak marah-marah sama orang lain? Bisa lebih kacau jadinya," jelas ibunya. Sekalipun tidak puas mendengar penjelasan ibunya, anak itu hanya diam saja.Di hati kecil setiap manusia, tidak ada seorang pun yang mau dijadikan sasaran kemarahan orang lain. Tetapi, orang yang hidupnya dikuasai Roh Kudus akan mampu meredam setiap kemarahan orang. Seorang hamba Tuhan berkata, "90% lebih emosi seseorang dalam bentuk kemarahan dilampiaskan kepada orang-orang terdekat dan yang dikasihinya. Suami kepada istri dan anaknya, istri kepada suami dan anaknya, anak kepada orang tuanya." Hamba Tuhan ini memberi alasan bahwa mungkin saja seseorang tidak berani atau sungkan untuk marah kepada orang lain. Sehingga, tempat yang "enak" untuk marah adalah orang-orang terdekatnya. Hamba Tuhan lain berkata, "Kita harus memiliki hati bagaikan samudera, terutama bagi keluarga kita. Anda tahu samudera itu apa? Samudera adalah tempat yang bisa menetralkan setiap bangkai yang dibuang ke sana. Tidak ada bau bangkai di samudera. Hati kita juga harus bisa menampung "bangkai" keluarga kita, yaitu kemarahan dan kekesalan. Dan, menetralkan "bangkai" tersebut. Maksudnya supaya "bangkai" itu tidak dibuang ke tetangga." Memang terkesan tidak adil, tetapi itulah salah satu fungsi orang-orang yang berada di dalam satu keluarga. Daud, dia bisa garang kepada para musuhnya, tetapi dia bisa menerima kemarahan Absalom anaknya.Di satu sisi, kemarahan itu tidak dibenarkan, tetapi di sisi lain, seorang pasangan dan seorang anggota keluarga harus siap menjadi "tempat sampah" kemarahan tersebut. Penulis Amsal mencatat, "Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota." (Ams 16:32). Itu berarti bahwa seseorang yang rela menjadi "tempat sampah" tersebut akan mempunyai kekuatan untuk menang, yaitu mengambil hati mereka yang marah, bahkan sanggup membawa keluarga dalam suasana damai sejahtera. Tetapi, untuk bisa demikian, dia harus hidup oleh Roh atau mau dibimbing Roh Kudus. Tentu kita ingin keluarga kita tenang dan nyaman. Maka, mulailah dari diri sendiri untuk mau hidup dibimbing Roh Kudus sehingga sanggup menampung perkataan dan tingkah laku yang tidak menyenangkan dari anggota keluarga yang lain.DoaBapa, aku ingin keluargaku damai sejahtera. Mulailah dari diriku ya Bapa dengan memberi kekuatan kepadaku untuk sanggup menampung kemarahan anggota keluargaku. Amin(Manna Sorgawi Edisi Juli 2010)



Sudah seharusnya memang tiap orang menjadi tempat sampah buat orang yang dikasihinya.

Kalaulah hati manusia itu seperti samudera atau lautan, jadi ingat kejadian tsunami baru-baru ini di jepang.

Bumi - daratan dan lautan.

Tsunami itu katanya terjadi karena patahan didasar laut, patahan itu mengakibatkan air naik ke daratan yang bisa menyapu bersih daratan.
Hati manusia itu seperti itu juga kali yah, sering menyimpan dan menjadi tempat pembuangan sampah. :). Lautan atau samudera itu tetap tenang dan diam. Akan tetapi ketika terjadi patahan lempengan tanah didasar laut, laut menyapu bersih daratan luas yang juga berperan mengantarkan sampah ke lautan. :).
Apa yang terjadi?
Sebagian orang menganggap itu kutukan atau takdir dari Tuhan atau manusia yang tidak bisa menjaga alam?
Meski kebanyakan orang marah ke lautan, tapi bumi tau, patahanlah yang membuat itu semua ternjadi.

Tapi aku suka satu pernyataan seorang korban letusan gunung merapi tahun lalu, aku lupa namanya dan detail perkataannya. Saat yang dia miliki sudah hancur, dan hanya menyisakan sedikit saja benih padi. Dia masih bisa bersyukur. Beginilah kira-kira "Tidak apa-apa, ini perlu untuk tetap menjaga keseimbangan. Karna meski yang maha kuasa telah mengambil apa yang kita miliki, tapi Dia tetap meninggalkan sesuatu agar kita bisa memulai kehidupan yang baru". :)

No comments: